logo blog

Parenggerengge dan Danau Toba Sebagai Destinasi Wisata

Parenggerengge dan Danau Toba Sebagai Destinasi Wisata


Gencarnya pemerintah saat ini ingin menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata nasional patut diacungi jempol. Patut untuk didukung karena selama ini wisata Danau Toba sudah kehilangan pamor dan perhatian. Selama ini pemerintah daerah tidak memperhatikan dan mengembangkannya. Untunglah pemerintah pusat mengambil alih dengan membentuk sebuah Badan Otorita.

Namun seperti tulisan sebelumnya, Danau Toba, Antara Tujuan Wisata Dan Kemisteriusannya,masih banyak hal yang perlu diperhatikan dan diperbaiki.

Salah satunya adalah Parenggerengge (pedagang). Ini menjadi penting karena parenggerengge akan bersentuhan langsung dengan para wisatawan. Parenggerengge ini akan menentukan kesan para wisatawan terhadap wisata Danau Toba.

Interaksi antara wisatawan (terutama wisatawan mancanegara) dan parenggerengge tidak hanya melulu soal kemampuan bahasa. “How are you?”. “What do you want?”. “So so”. Namun yang lebih penting adalah sikap dan perangai yang ditunjukkan para parenggerengge.

Pernah ada orang yang bercerita. Seorang istri pendeta yang baru pindah dan sekarang tinggal di Balige. Suatu kali pergi belanja ke pajak Balige (Balerong). Ingin membeli 100 gram bumbu dapur. Namun parenggerengge itu memaksa istri pendeta untuk membeli 250 gram (seperempat kilo). Karena tak ingin ribut, istri pendeta itu akhirnya mengalah. Jadinya beli seperempat kilo, padahal yang dibutuhkan hanya 100 gram saja. 

Lain cerita lagi. Ada orang yang ingin membeli sesuatu dari pajak Balige. Lihat barang ini, lihat barang itu. Ingin mencari barang yang cocok di hati. Dan karena merasa tidak ada yang cocok, akhirnya tidak ada barang yang jadi dibeli. Si parenggerengge marah. Marah karena sudah bongkar sana, bongkar sini. Tunjuk barang ini, tunjuk barang itu dan akhirnya tidak ada barang yang terjual. Bahkan si parenggerengge memaki orang itu.

Sikap dan perangai seperti itulah yang patut diperhatikan oleh pemerintah. Seharusnya parenggerengge harus dapat bersabar melayani para pembelinya, apalagi kalau itu adalah wisatawan. Parenggerengge harus dapat menjadikan calon pembeli sebagai tuan dan nyonya yang harus dilayani. Tidak perlu marah ketika sudah lihat sana, liat sini tapi tidak ada yang jadi. Harus mampu tersenyum kepada calon pembeli, harus mampu menahan emosi.

Mungkin perlu juga dibawa jalan-jalan ke pajak-pajak di Medan (tidak perlu jauh-jauh harus ke Bali). Seperti ke Pajak Melati, Pajak Petisah atau Pusat Pasar. Disana para parenggerengge sangat antusias menawarkan jualannya.

“Sini, bang. Sini, kak. Lihat lihat saja dulu”.

Makanya para calon pembelipun akan datang dan banyak yang hanya lihat-lihat saja tanpa membeli apa-apa. Namun, para parenggerengge di sana tidak mempersoalkannya. Karena mereka merasa, selain karena kebutuhan, yang paling menentukan seseorang mau membeli adalah karena rasa suka. Aku suka barang itu, kubelilah. Begitu kira-kira.



* Pajak = bahasa Medan untuk pasar

foto: antaratapanuli.wordpress.com

Share this:

Tidak ada komentar