logo blog

CERMIN DIRI

CERMIN DIRI


Beberapa orang di antara kita mungkin pernah mengikuti wawancara sewaktu mencari pekerjaan. Dan pertanyaan yang sering muncul adalah, “Sebutkan kelebihanmu?”. kita akan menjawabnya dengan list yang begitu banyak. “Pekerja keras, pemikir, mudah bersahabat, bertanggung jawab dan bla... bla... bla...”. Kemudian disusul pertanyaan, “Jadi sekarang, sebutkan kekuranganmu?”. Dan pada umumnya kita sulit menjawab ini. Kita hanya mampu memberikan tiga kekurangan yang kita ketahui.

Mungkin di dalam pikiran kita masing-masing, untuk apa perusahaan tahu tentang kekuranganku? Dengan menyebut banyak list kelebihan, berharap mereka antusias dan aku diterima.

Entah itu benar atau tidak. Tapi itu adalah salah satu sifat dasar manusia. Mudah melihat kelebihan diri sendiri namun sulit melihat kekurangannya. Dan cara paling mudah untuk melihat kekurangan diri sendiri adalah bertanya pada orang yang dekat dengan kita. Karena memang, sifat dasar manusia, mudah melihat kekurangan orang lain tetapi sulit melihat kelebihannya.

Penyebabnya mungkin karena manusia tidak mampu melihat wajahnya sendiri walaupun ada dua mata yang telah tersedia. Sialnya, kedua bola mata manusia mengarah ke depan. Kurasa manusia awal merasa penasaran dengan wajahnya sendiri. Awalnya mencoba meraba, “ini hidungku, ini telingaku, ini mulutku”. Itulah cermin diri yang paling awal.

Hingga pada suatu saat menemukan sebuah telaga yang jernih dan melihat pantulan wajahnya di sana. Dan tahu apa yang pertama kali dirasakannya?

Senang dan bahagia sambil berguman, “Ini mataku, indahnya. Ini hidungku, mancungnya. Ini bibirku, begitu seksi”. Semuanya adalah kelebihan. Semuanya adalah tentang kesempurnaan dirinya. Bahkan dia akan kembali datang ke telaga jernih itu, untuk melihat dirinya dan untuk memuji diri sendiri.

Suatu kali, dia datang bersama saudaranya, saudara kandung. Ingin menunjukkan penemuannya tersebut. Saudaranya terkejut dan heran bahwa pantulan wajahnya ada pada telaga jernih itu. Ini pertama kalinya ia melihat wajahnya sendiri. Ia tersenyum dan merasa senang sama seperti saudaranya yang sebelumnya telah mengalami sensasi yang demikian.

Setibanya di rumah, sebuah gua kecil dan gelap, dimana satu keluarga ada di sana. Dan dengan bangganya kedua orang tadi menceritakan apa yang mereka temukan. Menceritakan kelebihan masing-masing. Mereka berdua saling rebutan siapa yang matanya yang paling indah, hidungnya yang lebih mancung atau bibir siapa yang paling seksi.

Dan itulah cermin diri selanjutnya.

Setiap orang membanggakan diri. Setiap suku menganggap suku lain lebih rendah dari sukunya sendiri. Perpecahan terjadi dimana-mana. Permusuhan timbul tanpa tahu akan dimana ia akan muncul. Serang!! Perang!! Lawan!! Itulah kata-kata yang akrab oleh cermin diri yang demikian. Dunia rusak oleh karenanya. Dunia hancur berantakan tak beraturan seperti yang kita temui saat ini.

Bertahun-tahun, berabad-abad bahkan beribu abad dunia berada dalam kegelapan. Dunia berada dalam ketakutan. Hingga muncullah hukum alam yang mungkin masih lestari hingga saat ini, “Siapa yang kuat, dialah yang bertahan”.

Bertahun-tahun kemudian, berabad-abad kemudian bahkan beribu tahun kemudian, muncullah sebuah gerakan spiritual pada tiap komunitas, tiap suku di seluruh dunia. Gerakan spiritual tentang kekuatan yang besar diluar kemampuan manusia. Sesuatu yang lebih besar dari manusia itu sendiri. Sesuatu yang melebihi keagungan manusia itu sendiri hingga manusia merasa dirinya kecil sekali. Bagai sebutir pasir yang tak dapat dibandingkan dengan bulatan dunia. Bisa saja itu pohon besar, batu besar atau gunung yang tinggi. Atau pada perkembangan selanjutnya manusia mengenal roh. Sesuatu obyek yang halus, yang tak dapat dilihat dengan mata badani, yang memiliki kekuatan untuk mengayomi atau bahkan sebaliknya memiliki kekuatan untuk mendatangkan bala penyakit atau bahaya.

Inilah pertama kalinya manusia merasa kecil. Merasa rendah jati dirinya. Namun, walaupun demikian, itu hanya berlaku pada obyek tersebut. Bukan kepada antar sesama manusia.

Dan itulah cermin diri yang ketiga.

Lama setelah itu, bersamaan dengan munculnya kebudayaan pada setiap komunitas, gerakan spiritual tersebut mengalami evolusi. Evolusi yang pada akhirnya menghasilkan agama. Agama yang berisikan kumpulan tuntunan dalam bertindak sehari-hari. Yang mengatur setiap individu dalam sebuah komunitas. Yang membatasi setiap individu dalam bentuk larangan dan perintah. Berkat dan kutukan.

Akhirnya manusia itu memiliki adab dan tuntunan hidup. Manusia akhirnya tidak hanya mampu melihat kelebihannya lagi. Namun juga telah merasa dirinya rendah. Rendah karena terdapat suatu oknum yang mahatinggi. Manusia merasa dirinya kotor dan menjijikan. Manusia akhirnya berkenalan dengan yang kita kenal saat ini dengan istilah dosa. Tidak melakukan tuntutan agama berarti berdosa.

Dan itulah cermin diri yang keempat.

Akhirnya kita akan berpikir bahwa manusia pada jaman sekarang telah melewati keempat cermin diri tersebut. Dan akhirnya menghasilkan manusia yang beradab dan memiliki suatu tuntunan yang sesuai dengan agama. Agama, suatu tuntunan hidup supaya manusia lebih beradab dan tertib.

Tapi tahukah Anda, bahwa di dalam hukum alam, terdapat suatu hukum kekekalan? Suatu yang muncul pada suatu jaman, akan terus ada hingga waktu tak terhingga. Jadi, jangan heran kalau cermin diri yang dari mula-mula itu masih lestari hingga saat ini. Cermin diri yang merasa benar sendiri. Cermin diri yang hanya menghasilkan permusuhan dan kegaduhan.

Share this:

Tidak ada komentar