logo blog

Hujan Hanya Setengah Jam dan Tata Kelola Kota Yang Salah

Hujan Hanya Setengah Jam dan Tata Kelola Kota Yang Salah


Dua hari lalu, tepatnya hari Jumat, 3 Februari 2017, ketika matahari hendak terbenam tiba-tiba hembusan angin terasa menusuk hingga ke tulang. Awan hitam kelam muncul bergulung-gulung dari arah Danau Toba. Dan tidak lama kemudian hujanpun turun membasahi bumi.

Hujan deras itu tidak lama, hanya setengah jam. Kemudian tinggal hanya rintik-rintik dan langit menjadi kuning kemerahan. Matahari seperti enggan untuk meninggalkan siang. Namun, kekuatan waktu tak dapat dilawan hingga hanya hitungan menit, hari sudah gelap.

Lampu jalan dan lampu toko-tokopun menggantikan terang sang mentari. Walau tak mampu menyamainya namun cukuplah menerangi jalan di depan gedung Bank Mandiri Balige. Kenderaan lalu lalang dan menderu. Makin lama semakin melambat karena ternyata air sudah mulai menggenangi jalanan. Awalnya hanya aliran kecil hingga akhirnya telah setinggi mata kaki dengan aliran yang cukup keras.

Aku yang melihatnya geleng-geleng kepala.

Hei.... kenapa tulisanmu seperti gaya novel??

Hehehe....

Bagaimana aku tak geleng-geleng kepala. Kota Balige itu hanya kota kecil dan tepat berada di tepi Danau Toba. Bisa dibayangkan, kota Jakarta berusaha membangun waduk-waduk buatan agar dapat mengendalikan banjir. Ini mah ada waduk alami super raksasa, malah bisa banjir, tinggal buat kanal atau gorong-gorong menuju Danau Toba. Jarak antara jalan di depan Bank Mandiri yang banjir itu dengan Danau Toba hanya 100 meter saja.

Tidak Adanya Niat Pemerintah

Aku memang bukan ahli tata kota, hanya orang awam yang tinggal di kota kecil.

Rata-rata tata kelola kota-kota di Indonesia itu salah. Semua berlomba-lomba membangun gedung, pusat-pusat perbelanjaan dan jalan-jalan untuk menampung nafsu konsumtif masyarakatnya. Berlomba-lomba ingin membuatnya besar dan akhirnya berlomba-lomba menjadi seperti kota Jakarta. Kota yang entah apa bisa dijadikan sebagai kota idaman. Padahal kota itu yang dulunya tiap tahun dilanda banjir.

Tidak ada niat pemerintah mematuhi tata kelola dan rancang kota yang telah dibuat sebelumnya. Peruntukan lahan yang tidak seharusnya. Seharusnya menjadi taman resapan air malah dibangun pusat perbelanjaan. Hilangnya trotoar hanya karena ingin memperlebar jalan agar mobil-mobil tidak macet. Hingga akhirnya jumlah dan volume gorong-gorong yang tidak sesuai dengan volume air pada saat hujan.

Namun, sebenarnya untuk kasus kota kecil Balige ini, permasalahannya hanya karena gorong-gorong yang tersumbat. Cukup dibersihkan, selesai perkara.

Disinilah niat pemerintah setempat yang tidak ada. Tidak ada niat memperbaiki hal-hal yang kurang di kotanya. Yang penting untuk dijaga adalah tingkat konsumtif masyarakatnya. Dengan demikian geliat ekonomi terus berjalan. Itu sudah cukup.

Sedangkan mereka berpesta pora dengan dana APBD. Tak usah katakan ini adalah fitnah. Tinggal cari saja di internet, sudah berapa jumlah Bupati Kabupaten Toba Samosir sejak daerah ini mekar menjadi sebuah kabupaten dan berapa jumlah Bupati Kabupaten Toba Samosir yang tersandung kasus korupsi.

Dan setelah kota-kota kecil seperti Balige ini akhirnya besar seperti kota Jakarta, jangan seperti Jakarta deh, Medan sajalah, permasalahannya sudah terlalu kompleks. Butuh tenaga dan energi untuk memperbaikinya. Lihat Jakarta, hanya untuk memperbaikinya, orang harus mati-matian.

Share this:

Tidak ada komentar